judul gambar
DenpasarHeadlines

Merasa Tidak Aman, BAP Kasus Pencabulan Anak di Kaltim Dilakukan di Denpasar

Denpasar, LenteraEsai.id – Kasus dugaan pencabulan terhadap bocah perempuan inisial MC (9) yang dilakukan oleh kakek tirinya, telah ditangani dengan intens oleh pihak Polda Kalimantan Timur, di mana sebelumnya pernah beberapa saat terkatung-katung tanpa kejelasan. Yang menggembirakan, pelaku bahkan telah ditangkap dan kini mendekam di balik ruang berjeruji besi di Mapolda Kalimantan Timur.

Selaku penasihat hukum korban, Advokat Siti Sapurah yang dikenal dengan panggilan Ipung ketika dikonfirmasi pada Jumat (24/12/2021) menyebutkan bahwa perkara ini sudah P-19 dan telah ditangani pihak Kejati Kalimantan Timur, namun untuk melengkapi BAP yang berasal dari keterangan korban, petugas melakukannya di Denpasar, Bali.

“Terdapat data tambahan yang diminta jaksa, ya seputar di mana peristiwa itu terjadi pertama kali, serta menyoal waktunya. Ibu korban sebelumnya sudah memberitahukan pada saya tentang perbuatan bejat yang menimpa anaknya itu, antara lain terjadi di kamar ketika si ibu sedang tidak ada di rumah. Pelaku juga selama ini sering mengantar jemput korban, bahkan pelaku juga meminta kepada ibu korban, supaya korban ini ditaruh di rumah pelaku. Jadi otomatis tidur bersama pelaku,” ujar Advokat Ipung.

Dia melanjutkan, peristiwa pencabulan itu terjadi sejak bulan Januari 2020 lalu. Di mana ketika korban akan mandi, pelaku lantas mengambil inisiatif untuk memandikan. Berikutnya terjadi di toko milik pelaku, serta di parkiran rumah sakit ketika ibu korban sedang perawatan melahirkan.

“Sebenarnya ada permintaan jaksa untuk menyita HP ibu korban, dengan alasan ada suara rekaman korban ketika pertama kali mengakui tentang perbuatan bejat yang dilakukan pelaku. Akan tetapi, saya selaku penasihat hukumnya keberatan kalau ada penyitaan itu, dikarenakan suara rekaman korban kan sudah dipindahkan ke flashdisk dan diserahkan pada penyidik. Jadi menurut saya hal ini tidak masuk akal kalau dilakukan penyitaan HP ibu korban. Kalau memang tidak percaya rekaman di flashdisk, saya siap jika perlu mendatangkan saksi ahli. Justru seharusnya dilakukan penyitaan terhadap HP pelaku, karena di sana ada jejak digital dan barangkali ada korban yang lain,” ujar advokat kenamaan itu, menjelaskan.

Disinggung mengenai BAP tambahan yang dilakukan di Bali, Advokat Ipung menjelaskan bahwa dirinya memang memboyong korban dan ibunya ke Bali, karena pasca-pelaku ditahan, ibu korban merasa tidak aman. Hal ini karena kerap menerima telpon gelap dan banyak orang atau organisasi yang menghubungi ibu korban untuk bertemu atau ingin memberi bantuan hukum, yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan oleh ibu korban saat ini. “Karena hal inilah ibu korban menghubungi saya selaku kuasa hukumnya untuk meminta perlindungan demi keamanan korban dan keluarga,” ujar Ipung.

Ditanya mengenai turunnya advokat yang juga pemerhati anak dan perempuan itu pada kasus yang terjadi Kaltim tersebut, Ipung mengungkapkan bahwa ibu kandung korban sempat menghubungi dirinya, meminta untuk dilakukan pendampingan atas kasus yang menimpa anaknya.

“Ibu kandung korban menangis dan meminta bantuan agar kasus anak perempuan kesayangannya itu bisa mendapat kepastian hukum. Sang ibu mengaku gerah melihat pelaku tetap bebas, meski telah melakukan kesalahan yang besar,” ucap Ipung, menjelaskan.

Setelah mendapat telepon dari ibu kandung korban beberapa bulan lalu itu, Ipung mengaku langsung mempelajari berkas perkara atas kasus pencabulan yang sudah berproses di Polda Kalimantan Timur (Kaltim) tersebut.

“Awalnya tak ada masalah, sampai akhirnya pada sebuah penjelasan yang menyebut kasus ini minim bukti. Namun yang cukup mencengangkan, korban MC dituduh memiliki kelainan mental oleh terduga pelaku, karena dianggap mengarang cerita,” ujar Ipung, geram.

Dalam surat pengaduan masyarakat yang dibuat pada 5 Oktober 2021 yang dilengkapi dengan 11 lampiran lengkap soal kasus ini, Ipung pun menuliskan jawaban dari beberapa keraguan yang membuat kasus ini mandek.

Di antaranya Ipung membantah kondisi kesehatan mental korban memiliki kelainan. Advokat kenamaan ini juga menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya saksi tambahan berupa saksi mata yang melihat kejadian tersebut, seperti yang sempat diminta penyidik.

“Dalam kejadian ini, korban dalam kondisi normal bahkan bisa dengan jelas menceritakan kronologis kejadian. Diperkuat dengan bukti yang sudah ada. Sementara untuk permintaan saksi yang melihat kejadian, kan tidak mungkin,” tuturnya.

Alasannya, kata Ipung, jika mengacu pada bukti-bukti yang sudah ada, hasil visum yang menunjukkan adanya robekan pada selaput dara dan keterangan saksi korban, sudah menjadi dasar kuat untuk menetapkan tersangka dan melanjutkan proses hukum.

Pada lampiran pengaduannya, Ipung tak lupa mengingatkan hukuman yang sebenarnya yang pantas diterima oleh pelaku pencabulan, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Ia menjelaskan, berdasarkan Perpu Nomor I Tahun 2016 yang sudah menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016 yang menjadi perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 dan perubahan pertamanya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak UU Nomor 17 Tahun 2016, khusus mengatur Pasal 81 jo 82 tentang perbuatan cabul dan persetubuhan anak di bawah umur, dengan ancaman pidana minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Bahkan sampai hukuman mati atau seumur hidup dan ada ancaman pemberatan lainnya seperti kebiri kimia, pemasangan chip dalam tubuh, jika pelaku tidak dihukum mati atau seumur hidup, katanya.

Selain itu juga berupa penyiaran secara jelas identitas lengkap pelaku agar mendapat sanksi sosial dari masyarakat, agar masyarakat tahu jika pelaku sudah melakukan tindak pidana berat sebagai predator anak atau pedofilia.

“Jadi tidak ada alasan pembenar bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus ini menyebut minim bukti, apalagi meminta adanya bukti tambahan saksi yang melihat,” ujar Ipung, menandaskan.

Terbaru, lanjut dia, barang bukti lainnya berupa kain seprai yang ditemukan bercak sperma milik pelaku hasil pemeriksaan laboratorium di Surabaya telah mengeluarkan hasilnya.

Dari sini pula, Ipung mengingatkan tak ada lagi alasan kasus ini tak bisa diselesaikan. Kasus ini juga sebelumnya sudah masuk dalam pra-rekonstruksi menuju rekonstruksi.

“Hanya saja karena rekonstruksi mendapat penolakan dari ibu korban karena ibu korban dilarang mendampingi korban yang ingin menghadirkan pelaku bersama korban, akhirnya proses ini dihentikan sementara,” ujar Ipung.

Ipung juga menyayangkan tindakan penyidik yang ingin melakukan rekonstruksi antara korban dan pelaku, yang sesungguhnya tidak diperlukan. “Kalau pun ingin melakukan rekonstruksi, harus menggunakan peran pengganti sebagai korban,” katanya, menekankan.

Namun bersyukur, semua itu sudah terlewati, dan si pelaku kini sudah dilakukan penahanan dalam status berkas yang sudah P-19 menuju proses selanjutnya ke arah penuntutan di depan sidang pengadilan, ujar Ipung, menjelaskan. (LE-DP)

Lenteraesai.id