judul gambar
BadungHeadlines

Derita Panjang Petani Kuwum Badung, Tidak Bisa Tanam Padi, Singkong Tidak Laku

Badung, LenteraEsai.id – Semenjak aliran air dari Bendungan Pama Pulian, Desa Luwus, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan ditutup, praktis para petani Subak Balangan, Desa Kuwum, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung tidak lagi bisa menanam padi.

Penutupan aliran air dari bendungan yang semula mengalir lewat telabah atau selokan ke Subak Balangan, telah dilakukan sejak 21 tahun silam. Dalam waktu yang terbilang tidak pendek itu, areal sawah seluas 60 hektar tersebar di tiga munduk, menjadi kering kerontang.

Lebih-lebih dimusim kemarau, bertanam palawija pun tidak bisa hidup, karena tanaman palawija juga perlu disiram air. Demikian diceritakan sejumlah petani Subak Balangan, Kuwum, Badung saat pewarta LenteraEsai (LE) menyambangi sawah-sawah di subak itu pada Jumat sore, 7 Mei 2021.

Hamparan sawah tampak telah berubah menjadi tegalan (tanah kering). Banyak petani yang menanami lahannya dengan singkong (ketela pohon), jagung, cabai, jeruk, panili, sayur-sayuran dan sebagainya. Bahkan tampak ada petani yang menanam pisang dan pohon kelor.

Seperti disampaikan petani I Made Suti (65) saat ditemui sedang menyabit rumput di sawahnya, mengungkapkan bahwa kebanyakan petani di Subak Balangan menanam singkong, tetapi lacur belakangan singkong tidak ada yang beli hingga umbinya busuk. Hal senada juga disebutkan I Made Suika (45).

“Setelah ada Covid-19, singkong di sini tidak ada yang beli Pak. Dikasi Rp 2.000 per kilo tidak laku,” kata Made Suti. Karena tidak ada yang beli, umbi singkong miliknya terpaksa dijadikan pakan sapi. Dibuat kripik dan tape juga tidak laku.

Tidak lakunya singkong dalam setahun ini, antara lain lantaran daya beli masyarakat rendah, karena tidak bekerja. Kebanyakan orang yang dulu kerja di sektor pariwisata di kota, kini pulang kampung.

Guna menutup kebutuhan hidup, Made Suika mengaku kini mencoba beternak kele-kele di pekarangannya guna menutup hasil bertanam yang sudah tidak memadai. “Selain berkebun di sawah, saya menekuni usaha ternak kele-kele Pak. Agar ada tambahan penghasilan,” ujar Suika.

Pekaseh Subak Balangan, I Ketut Matrayasa yang ditemui terpisah, membenarkan derita yang telah cukup lama dialami petani Subak Balangan. Dirinya mengaku malu menceritakannya hingga mencapai 21 tahun.

Matrayasa juga merasa malu, karena sebagai pekaseh tidak mampu memperjuangkan agar air dapat mengalir kembali ke wilayah Subak Balangan, sehingga petani bisa menanam padi sebagaimana ketika air masih mengalir dulu. “Terus terang, saya malu menceritaka ini (2i tahun tidak dapat air Red-). Dan kami juga tidak mau menyalahkan siapa-siapa,” ujar Matrayasa dengan perasaan galau.

Menurut mantan ASN di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Badung itu, macam-macam produksi palawija yang dihasilkan petani, harganya berpluktuasi. Seperti saat ini, daya beli masyarakat rendah. Jadi palawija petani juga dihargai sangat rendah. Bahkan ada produksi palawija tidak ada yang beli, seperti ketela pohon (singkong), misalnya.

“Dulu sebelum terjadi Covid-19, banyak pembeli singkong ke sini, sekarang sudah tidak ada lagi,” ucapnya, sedih.  (Bersambung)  (LE/Ima)

Lenteraesai.id