judul gambar
HeadlinesKlungkung

Diduga untuk Besarkan Sampradaya, Pemerhati Hindu Soroti Penggalian Dana BDPHN

Semarapura, LenteraEsai.id – Penggalian dana melalui selebaran kupon dan surat dari Badan Dana Punia Hindu Nasional (BDPHN) beralamatkan Kantor Pusat di Jalan Ken Arok dan Kantor Harian di Jalan Beliton Denpasar, belakangan muncul menjadi polemik, sebab dianggap tidak jelas tujuan penggalian dana dan siapa inisiatornya.

Berbagai pertanyaan muncul di kalangan masyarakat Bali, terutama menyangkut maksud dan tujuan dilelenggarakannya mengumpulan dana oleh sebuah lembaga yang menamakan diri BDPHN tersebut.

Kali ini, pemerhati masalah adat dan keagamaan, I Putu Agus Yudiawan dari Warih Mule Keto, kepada pers di Semarapura, Senin (3/5), mengaku belum mendapat gambaran yang cukup jelas mengenai maksud dan tujuan pengumpulan dana melalui selebaran surat dan penjualan kupon dari BDPHN itu.

“Meski dalam kop surat tertulis BDPHN (Yayasan Punia Hindu Indonesia), telah mengantongi Akta Pendirian Nomor 11 tanggal 8 Juli 2014 hingga SK Menteri Hukum dan HAM No.AHU-03592.50.10.2014, namun hal ini dirasa belum cukup karena haruslah dipahami publik siapa inisiator dari BDPHN dan pengumpulan dana itu ?,” ucapnya.

Dalam konteks lain, lanjut Agus Yudiawan, BDPHN tersebut pun telah menggunakan kata ‘Hindu’ untuk menggali sumber-sumber pendapatan dengan menawarkan kupon seharga Rp10 ribu per lembar ke sejumlah instansi pemerintah.

“Maka, terhitung sejak 2014, siapa yang menginisiasi BDPHN ini?. Mengapa menandai nama Hindu. Jadi saya keberatan atas nama Hindu Nasional itu. Apalagi pihak PHDI mengatakan tidak tahu-menahu soal badan punia ini. Seharusnya pihak PHDI Bali wajib mengetahuinya sebab badan ini mengatasnamakan Hindu, dan ormas keagamaan Hindu tertinggi yang diakui negara adalah PHDI,” katanya, menegaskan.

Agus Yudiawan mengungkapkan, belakangan ini sempat terjadi ‘konflik’ yang cukup memanas antara umat Hindu di Bali dengan kalangan Sampradaya asing yang juga mengatasnamakan Hindu.

“Kalau dilihat dari masuknya Sampradaya ke Indonesia sejak tahun 1968, kemudian dikaitkan dengan berdirinya BDPHN pada 2014, apa tidak mungkin dana itu dapat juga dipakai justru untuk membesarkan Sampradaya ?,” ujar Agus Yudiawan, mempertanyakan.

Kalau saja itu terjadi, Agus Yudiawan dengan tegas menyatakan tidak mentolerir adanya tagline Hindu dipakai untuk meraup keuntungan oleh  oknum tertentu, kemudian dananya malah digunakan untuk membesarkan organisasi-organisasi yang bukan Hindu Nasional (Hindu Nusantara). “Dengan kata lain, malah dipakai membesarkan Sampradaya non-dresta Bali semacam Hare Kresna (HK) dan lain-lain,” ujarnya.

Dikatakan, jika dana yang dikumpulkan dari setiap instansi (pemerintah daerah) misalnya, setiap enam bulan atau setahun sekali, lalu apa tidak mungkin dana-dana itu dipakai untuk membesarkan organisasi asing tersebut di Bali ?.

“Selain itu, dari pengamatan saya, beberapa pentolan Hare Kresna (HK) dan Sampradaya non-dresta Bali telah berusaha menyusul ke dalam tubuh Hindu. Bahkan, mantan Dirjen Bimas Hindu Prof Widnya misalnya, dari jabatannya malah menyusupkan aliran Sampradaya ke kurikulum pendidikan tingkat SD hingga perguruan tinggi. Gerakan masif tersebut tidak mungkin terjadi jika tidak adanya dukungan dana,” ucap Agus Yudiawan.

Maka dari itulah, siapa inisiator BDHPN tersebut harus diselidiki PHDI dan MDA Provinsi Bali, dan juga pihak-pihak berwenang agar supaya jelas dan terang benderang. Begitu juga pihak BDHPN yang menghimpun dana masyarakat wajib melaporkan secara periodik kepada masyarakat mengenai penggunaan dana tersebut melalui situs resmi, sehingga mudah di akses oleh masyarakat.

“Ya ke depan sebaiknya yang menginisiasi pengumpulan dana ini adalah PHDI, MDA, dan ormas bernafaskan Hindu. Saya menolak keras keberadaan BDPHN ini dan segera dimorotariumkan setelah laporan pertanggungjawaban dipublikasikan ke publik,” ucapnya.

Keberadaan BDPHN, imbuh Agus Yudiawan, beberapa waktu terakhir tidak diketahui oleh instansi pemerintah daerah penerima surat, dan pihak PHDI Provinsi Bali pun tidak mengakui keberadaannya.

“Apakah Badan Hindu ini berbeda dengan yayasan? Apakah yayasannya berafiliasi dengan badan ini atau bagaimana?. Yayasannya bergerak di bidang apakah ini?. Kok pemerintah provinsi tidak tahu, PHDI juga tidak tahu?. Nah, siapa kalau begitu, kan siapa saja bisa membuat yayasan lalu menarik dana atas nama Hindu. Hal ini wajib ada klarifikasi,” katanya, geram.

Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi pada Kamis (29/4) lalu menyampaikan bahwa masyarakat tidak mengkaitkan selebaran kupon dan surat beredar tersebut dengan PHDI Bali.

“Surat tersebut tidak ada hubungannya dengan PHDI, sehingga semua aktivitas lembaga bersangkutan di luar tanggung jawab PHDI. Oleh karena itu, masyarakat dimohon agar tidak salah memahami keberadaan lembaga punia tersebut bahwa memang benar tidak ada kaitan apapun dengan PHDI. Suksma,” ujar Prof Sudiana, menandaskan.  (LE-KL)

Lenteraesai.id